Thursday 28 February 2008

lagi...lagi cerpen gue gak selesai???

I. semusim di neraka

Aku menutup kedua telingaku dengan bantal, kurasa tubuhku mulai menggigil, darah panas terasa mengalir dari otak hingga ujung jari-jari kakiku, aku tak tau apakah sekarang aku sudah hamper gila atau bahkan sekarang sudah gila. Sudah hamper dua jam aku mengurung diri di dalam kamar, tapi masih terdengar suara-suara hujatan dan caci maki lengkap dengan bunyi-bunyi barang pecah, entah berapa banyak gelas dan piring yang telah pecah sia-sia.
Pertengkaran malam ini kurasa pertengkaran paling hebat dibandingkan pertengkaran sebelum-sebelumnya. Aku benar-benar benci dengan keadaan ini. Aku sungguh tak tahan lagi melihat kedua orang tuaku bertengkar, dan aku lebih tak tahan lagi melihat ibuku menangis. Selalu saja ada masalah didalam keluargaku, dan malam ini aku benar-benar berada di titik kemarahanku.
Selama ini aku masih terus bertahan dan bersabar menghadapi masalah yang mendera keluargaku. Entah siapa yang harus disalahkan karena telah menciptakan neraka di dalam rumah kami. Beberapa tahun belakangan ini hatiku selalu tak tenang, gelisah dan banyak sekali ketakutan-ketakutan yang terlintas di benakku. Percayalah perasaan itu terasa berat dan melelahkanku, membunuhku pelan-pelan seperti penyakit akut yang menahun. Kalau bukan karena ibu mungkin aku sudah berulang-ulang kali mencoba membunuh diriku sendiri, kalau tak ada ibu mungkin saat ini aku sudah berbaring di atas rel kereta api, membiarkan tubuhku hancur berkeping-keping dilindas roda-roda kereta, atau bahkan aku sudah meletakkan cutter tajam di pergelangan tanganku, membiarkan mata pisaunya memotong habis urat nadiku, tapi itu semua tidak aku lakukan, karena ibu, ibu yang selalu menguatkan aku.
Dan malam ini untuk yang kesekian kalinya aku diusir dari rumah, dan kali ini aku benar-benar ingin pergi, sejak lama aku ingin sekali meninggalkan rumah ini, pergi dan mencari kehidupanku sendiri. Tapi setiap kutatap mata itu, hatiku perih seperti dihujam ribuan belati, dan akupun tak tega meninggalkan ibuku dalam neraka dunia itu. Tapi kali ini entah kekuatan apa yang membuatku tegar tapi yang jelas, tadi ibu memintaku pergi, ibu ingin aku aku pergi meninggalkan rumah ini, aku tau ibu tak ingin aku ikut menderita karena pertengkaran mereka. Tapi ini lebih menyakitkan dari apapun, dan seharusnya aku lebih tegar dari ibu.
Malam masih terasa hening, aku baru berani keluar dari kamar, kulihat ibu tidur dengan mata sembab karena menangis, masih lekat sisa-sisa air mata di pipinya. Kulihat barang-barang berhamburan diruang makan. Sementara itu ayah masih duduk di ruang keluarga sambil menghisap rokok kreteknya, entah apa yang dipikirkannya, asap rokok ia hembuskan dan mengepul ke udara, ruangan ini sudah penuh dengan asap rokok. entah sudah berapa bungkus rokok yang ia habiskan dalam waktu semalam ini, tapi yang jelas kulihat puntung rokok bertebaran dilantai. Aku pergi, aku tak meninggalkan pesan atau sepucuk suratpun dikamarku. Aku tau ibu pasti terluka, sama seperti aku saat ini, tapi mungkin ini lebih baik, paling tidak untukku sendiri.
Aku berjalan dalam pekat malam, kutinggalkan semua kenangan menyakitkan dirumah ini. Aku berbalik, kupandang kembali rumah kami, rumah yang telah menorehkan sejarah dalam hidupku, aku harap ibu baik-baik saja, aku harap ibu lebih kuat dan tegar melebihi aku. Aku harap ibu tak mencoba melakukan hal-hal bodoh yang sempat terlintas dalam pikiranku, aku harap ibu tak berbaring di atas rel kereta atau mencari pisau cutter untuk memotong nadinya, setidaknya kuharap ibu masih ingat aku.
Saat ini aku sudah berada di stasiun kereta api, uang 800 ribu rupiah ini mungkin cukup membawa ku ke Jakarta, besok raditya pasti sudah menungguku di stasiun gambir. Raditya dia yang paling mengerti aku saat ini, mungkin hanya dia nama yang selalu kuingat setiap aku dalam masalah. Sejak pertama kenal, aku selalu menceritakan apapun yang terjadi padaku, kami belum sekalipun bertemu, aku hanya melihat photonya di Friendster, ia tau semuanya tentang aku, hubungan kami hanya berlangsung lewat sms, 4 tahun belakangan ini mungkin ia telah jadi bagian dari diriku, ia selalu ada untuk menguatkan aku, aku selalu iri dengan kehidupannya yang kupikir tanpa beban, Raditya seorang yang bebas, hanya itu yang aku tau tentangnya. Setiap mendapat masukan darinya aku seperti baterai yang baru di charge dan kali ini aku pergi menemuinya.
Lelah dan kantuk yang tak tertahankan, aku benar-benar ingin pergi, pergi ketempat dimana aku berharap bias hidup tenang. Aku memang tak punya siapa-siapa di Jakarta, sedikit gambaran tentang Jakarta yang terlintas dibenakku, Kota yang besar, ramai, macet, banjir, dan kehidupan yang penuh tekanan cukup membuatku takut membayangkan bias bertahan hidup di Jakarta, tapi hidup memang harus berjalan, hanya pesan ibu yang kuingat saat ibu memintaku meninggalkan rumah kami, berjuanglah untuk bertahan hidup dan bertahanlah dalam kondisi sesulit apapun. Esok saat matahari terbit, aku sudah berada di Jakarta.

2. raditya

aku berdiri di lorong kereta Stasiun Gambir, tak terasa aku sudah berada di Jakarta, Ya inilah Jakarta, tempat dimana saat ini aku berdiri. Meraih mimpiku, untuk bisa berjuang hidup lebih baik lagi. meski tak bisa kupungkiri ini juga sebagai pelarian untuk menghapus satu lembaran pahit yang tak ingin kukenang. inilah kota orang-orang meraih impian. Kulihat gedung-gedung bertingkat di wilayah Jakarta pusat, aku melihat suasana yang tampak asing bagiku, kulihat langit begitu buram, buram sekali Aku bahkan tak pernah melihat suasana langit Yogya yang begitu buram, Orang-orang berlalu lalang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Semua orang serba terburu-buru, dan tak mau mengalah, semua orang opurtunis karena dikota semacam ini kesempatan adalah segala-galanya. Mataku masih saja mencari-cari sosok Raditya, aku masih menerka-nerka yang manakah Raditya diantara ratusan orang-orang yang ada di stasiun ini, aku pun mengaktifkan HP ku yang dari kemarin sengaja aku matikan, kulihat ada 15 sms masuk, dari saudara-saudaraku dan semuanya menanyakan keberadaanku dimana. Aku tak berniat membalas sms mereka, bukannya tidak mau, tapi aku harus mulai hidup baru, aku tak akan pulang sebelum aku berhasil, yah itu janjiku. Sampai akhirnya ada telepon masuk aku lihat tertera nama Raditya di layer handphone ku.
“hallo” terdengar suara yang tak asing lagi bagiku.
“ya” jawabku gugup
“andrea loe dimana”
“gue Radit, gue udah di stasiun sekarang, posisi loe dimana?” tanyanya masih dengan suara bising disekitarnya.
“gue di loby, loe dimana? Tanyaku tak sabar.
“gue diparkiran, loe tunggu yah gue jemput loe disana, jangan keman-mana dulu, loe pakai baju apa?"
"gue pakai cardigan hitam, oke gue tunggu loe" aku masih sedikit gugup bertemu Raditya, meski selama ini hubungan kami terasa cukup dekat tapi tak dapat kupungkiri kami belum pernah bertemu, dan rasa kaku pastilah ada saat ini.
Aku masih duduk di loby dengan perasaan campur aduk, kulihat sesosok laki-laki yang sepertinya kukenal datang menghampiriku, ya…itu raditya, dia langsung mengenaliku. dia terlihat jauh berbeda dari yang aku bayangkan, bahkan terlihat lain dari yang kulihat di Friendster. Tampangya sedikit agak lusuh, bahkan terkesan urakan. Jantungku kian berdetak kencang, dari kejauhan kulihat raditya tersenyum padaku, akupun membalas senyumnya. Sampai akhirnya ia datang menghampiriku.
“hai,” sapanya sambil mengulurkan tangannya
akupun membalas salamnya masih dengan perasaan gugup. Aku lihat Raditya cukup tampan, hanya saja ketampananya tertutup dengan penampilannya yang agak urakan, aku juga melihat tato yang ada di lengan kirinya dan pierching di kedua telinganya, namun tak membuat aku takut.
“loe andrea kan.”
“eh….iya, sorry gue nervous ketemu sama loe,” jawabku gugup
“kenapa gue seram ya,”
“ng…nggak, gue nggak percaya aja akhirnya kita bias ketemu juga,” balasku
aku masih saja memandang lekat wajah Raditya, rasanya tak ku percaya dalam waktu semalam saja akhirnya aku bias bertemu dengan orang yang hanya kukenal dari suaranya.
“ayo berangkat sekarang, memangnya kita mau berdiri disini aja,” ujarnya sambil meraih tas bawaanku.
Akupun mengikuti langkah Raditya sampai ke perkiran.
“nanti kalau udah nyempe ke rumah gue, loe jangan kaget ya,”
aku memandang Raditya dengan tersenyum
kami mulai keluar dari stasiun Gambir, Raditya menjemputku dengan motornya. Cuaca di Jakarta sangat panas siang itu, terasa sekali sinarnya yang begitu menyengat menggigit kulitku. Raditya tak pernah diam, selalu ada hal-hal yang ditanyakannya padaku, meski saat ini kami berada di atas motor, dia selalu berusaha meringankan bebanku dengan celotehannya yang terkadang tak lucu tapi mampu membuatku tertawa.
Kami berhenti di depan sebuah warteg, Raditya mulai bertanya padaku
“loe nggak malu kan re kalau makan di warteg,” ujarnya sambil menatapku. Re Raditya memang memanggilku dengan sebutan itu, setiap kali raditya menyebut namaku, hal itu mampu menghapuskan sedikit rasa asing diantara kami.
“kok diam aja, loe nggak malu kan makan di warteg,” ujarnya sambil mengulang pertanyaannya.
“nggak kok, gue biasa makan di warteg,” jawabku
kami pun mulai masuk kesebuah warteg yang tidak begitu luas, Raditya mulai memesan es teh manis.
‘loe mau makan apa re, loe pesen aja jangan sungkan, gue yang traktir kok,” ujarya sambil bercanda
“gue pesen nasi pecel aja,” ujarku dengan suara pelan.
“nggak nyesel Cuma pesen itu, gado-gado nya enak juga loh re, disini tempat langganan gue,” ujar radit lagi
aku hanya bias tersenyum setiap mendengar celotehan Radit.
Setelah selesai makan di warteg kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah radit, seperti tadi, Raditya tek henti-hentinya beceloteh. Dan akupun selalu tersenyum setiap mendengar celotehannya.
Kami mulai memasuki sebuah gang sempit yang padat sekali penduduknya, aku lihat tak ada sedikit pun celah yang membatasi satu rumah dengan rumah lainnya, gang ini begitu sempit hanya bias dilalui dua motor.
Tiba-tiba Raditya menghentikan motornya tepat di depan sebuah bangunan kecil berlantai dua, tepatnya seperti kamar kos-kosan. Aku masih sedikit bingung dan asing dengan suasana baru ini.
“ayo re, ini tempat tinggal gue, lo jangan sungkan, anggap aja rumah sendiri, tapi jangan kaget ya, disini ya beginilah keadaannya, serba pas-pasan, tapi loe jangan khawatir disini aman kok,” Raditya masih berpanjang lebar berbicara padaku
“nggak apa-apa kok dit, gue seharusnya berterima kasih banyak sama loe, karena udah mau nampung gue disini,”
“ayo masuk dulu,” ujar radit sambil membantu memasukkan tas bawaanku ke dalam rumahnya.
Akupun mengikuti langkah Radit memasuki ruangan itu, dinding dan lantai yang lembab serta bau pengap sangat terasa di ruangan ini, aku lihat barang-barang yang ada di ruangan ini t
ak tersusun dengan rapi, bahkan sedikit kotor. Sementara itu mataku tertuju pada poster-poster dan tulisan-tulisan yang terpampang di dinding ruangan ini, disana ada poster band-band barat dan tulisan-tulisan di dinding itu semuanya berisi kata-kata caci maki.

“disini agak kotor re, loe jangan jijik ya, mungkin loe nggak terbiasa dengan keadaan seperti ini,”
“nggak apa-apa kok dit, loe jangan ngomong begitu, gue jadi nggak enak sama loe, gue udah terbiasa dengan keadaan seperti ini,” ujarku mencoba membohongi Radit. Sungguh aku tak terbiasa dengan keadaan seperti ini, tapi ruangan pengap dan lembab ini mungkin lebih baik dari pada dirumahku, dan mulai saat ini aku harus terbiasa dengan lingkungan baru ini.
“loe tidur diatas aja re sama bimby, nanti gue kenalin loe sama dia, loe jangan khawatir bimby cewek juga kok sama seperti loe,” ujar Radit ketika melihat ekspresiku yang sedikit kaget karena ia menyebut nama Bimby.
“ gue belum pernah kan cerita sama loe tentang bimby?”
“ eh…iya,” jawabku.
Radit memang belum pernah sekalipun bercerita tentang bimby, sedikit rasa penasaran mengusik hatiku.
“loe istirahat aja re, gue bikinin minum buat loe,”
“loe nggak usah repot-repot dit,”
sementara radit membuat minuman di dapur, tiba-tiba mataku tertuju pada photo-photo yang terpampang di atas lemari. Disana ada photo radit dan teman-temannya dengan kostum ala anak punk, sepertinya dalam sebuah konser musik, disana juga ada photo radit bersama dengan seorang wanita bertubuh agak tambun dengan potongan rambut ala Mohawk, mataku juga tak lepas dari sebuah photo yang kini membuat aku sedikit penasaran, photo radit dengan seorang wanita cantik, tampaknya photo tersebut sudah sangat lama.
“itu photo gue dengan teman-teman gue re,” ujar radit mengagetkan aku.
Akupun langsung meletakkan kembali frame photo tersebut ke tempat asalnya.
“ini diminum, Cuma ada air putih doang, nggak apa-apa ya,”
“iya nggak apa-apa,” ujarku masih sedikit gugup.
Kamipun duduk dilantai dengan beralas karpet, disini memang tak ada kursi, hanya karpet lembab ini yang melapisi lantai.
“disini gue tinggal berdua sama bimby, dia teman gue, dia anak baik kok meski tampangnya agak sedikit sangar, tapi loe jangan khawatir, dia juga cewek kok sama seperti loe,” ujar Radit membuka obrolan.
“gue tinggal disini apa nggak ngerepotin loe dit,” aku memotong pembicaraan.
“loe jangan khawatir re, disini orang-orangnya baik-baik kok, tapi yah, beginilah keadaannya, agak sedikit kotor.”
Aku terdiam sambil masih memandangi tulisan-tulisan yang ada di dinding itu.
“kenapa? Loe jangan heran dengan tulisan-tulisan itu, itu kerjaan anak-anak mereka punya bakat nulis tapi nggak tersalurkan, makanya tembok yang jadi sasaran,” ujar radit bercanda.
Aku masih sedikit heran ketika radit menyebut kata anak-anak. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
“dit loe udah lama tinggal disini,” ujarku
“udah 2 tahun terakhir, kemarin gue di kontrakan gang sebelah, tapi karena kontrakannya di rehab jadi gue pindah disini. Ini juga sebenarnya kontrakan bimby, tapi kita join bayar sama-sama.”
“sekarang bimby nya kemana?” tanyaku
“bimby lagi kerja, dia Bantu-bantu temen gue di Distro.”
“oh…”
“yah…lumayan lah re, dari pada tidur di jalanan, paling nggak masih ada atap buat berteduh kalau hari hujan,”
“dulu, waktu gue sedang ngalamin gejolak jiwa masa remaja, gue pernah beberapa kali dalam waktu yang lama tinggal di jalanan, kalau dalam istilah anak punk “on the street”, dulu gue bias tidur dimana aja, di halte, di pinggiran jalan, bahkan di trotoar. Mencari makan dengan mengamen dan berbagai cara asal nggak nyolong. Dulu jiwa gue begitu liar, istilahnya gue adalah seorang punkers. Tapi sekarang ini gue nggak bergaya seperti anak-anak punk pada umumnya, Mohawk, boots, dan jaket kulit, itu hanya aksesoris semata, yang penting idealisnya kudu tetap terjaga.”
“jadi loe seorang punk dit?” tanyaku dengan sedikit penasaran
“loe jangan kaget re, punk nggak semuanya buruk.” Balas Radit.
“maaf dit gue nggak bermaksud menilai buruk loe, gue nervous aja, ternyata radit yang gue kenal adalah seorang punk, gue iri dengan kebebasan loe dit, gue iri dengan hidup loe yang sepertinya tanpa beban,”
“siapa bilang hidup gue tanpa beban re, jadi punk bukan berarti bebas dari segala masalah, gue juga manusia sama seperti loe, banyak banget permasalahan yang gue hadapin, Cuma gue berusaha ngadepinnya dengan tenang, gue berusaha ngejalanin hidup mengalir apa adanya.

“gue pernah ngalamin masalah yang lebih parah dari loe, re?”
mataku langsung tertuju kea rah radit ketika ia mengatakan itu.
“dulu waktu gue masih di Semarang, gue juga ngalamin hal yang sama seperti loe, keluarga gue juga berantakan, bokap gue diam-diam punya WIL, sementara ibu gue sakit-sakitan karena nggak sanggup menahan beban sendiri. sampai akhirnya gue terpaksa berhenti kuliah karena masih ada adik gue yang harus di sekolahin juga. Gue lari ke Jakarta, ketika nyokap benar-benar berani ngambil keputusan buat cerai dari bokap, gue rasa itu lebih baik. Cita-cita gue pengen jadi orang yang berhasil di Jakarta, biar bias ngidupin nyokap dan adek-adek, tapi nyatanya sampai sekarang gue belum bias memberikan apa-apa buat mereka.” Ujat Radit sedih.
kulihat air muka radit tampak berubah ketika menceritakan masa lalunya.
“gue juga berharap bias tegar seperti loe dit, walaupun akhir-akhir ini gue ngerasa hidup ini nggak adil,” ujarku pelan.
“loe nggak boleh bicara begitu re, hidup ini sudah sangat adil, karena nggak ada kebahagiaan yang bias terlihat dan terwujud tanpa ada pembandingannya yaitu penderitaan, juga nggak ada orang yang menilai sesuatu itu benar tanpa ada pembandingannya yaitu salah, karena benar dan salah itu relative, jadi menurut gue hidup ini sudah sangat adil re,”
aku terdiam mendengar kata-kata Radit.
“kita memang harus tetap ngejalanin hidup re, meski sesulit apapun, semua masalah pasti bias dilalui, yang penting jangan putus asa dan terus berusaha.”
Selalu begitu, radit selalu menguatkan aku. Aku harap bias tegar seperti radit, aku harap bias ngejalanin hidup dengan baik di Jakarta.
Tak terasa waktu hamper malam, kami masih membicarakan banyak hal sampai akhirnya sesosok wanita bertubuh tambun datang menghampiri kami.
“hai,” sapanya dengan ramah
“udah lama nyampenya, sory nggak ikutan jemput loe di statsiun,”
aku tersenyum masih dengan ekspresi bingung mendengar perkataannya, mungkin radit sudah menceritakan semua tentang aku.
“radit banyak cerita tentang loe, oya kenalin gue bimby, loe anggap rumah sendiri aja, kita ngumpul-ngumpul disini, kalau ada ya kita makan, kalau nggak ada juga ya kita puasa sama-sama” ujarnya lagi sambil bercanda.
“iya puasa biar loe bias kurus dikit,” timpal radit
“eh… loe nggak liat apa body gue udah bohay gini,” selanya sambil menepuk pantatnya yang kurasa berukuran 3 kali pantatku.
Akupun tersenyum mendengar celotehan mereka. Mereka tampak akrab sekali, bahkan tanpa beban. Aku harap bias seperti mereka, masih bias tertawa, walau di hati sangat terasa sakit.
“ini gue bawain bandrek buat loe berdua, lumayan diluar udaranya dingin banget, tumben-tumben yah udara Jakarta bias sedingin ini kalo malem.” Ujar bimby nggak berhenti bicara.
“asyik, bimby lagi banyak rejeki, ini nih re, yang gue suka dari bimby, nih anak kalau lagi punya duit nggak suka pelit orangnya, dia selalu baek hati,” puji radit sambil melirik bimby.
“udah loe nggak usah banyak basa-basi, bosen gue denger basa-basi loe” balas bimby.
Sementara itu aku hanya bias tersenyum mendengar celotehan mereka.
Tak terasa malam telah larut, kami bertiga pun larut dalam obrolan yang tak henti-hentinya membuat aku tertawa. Sedikit beban terasa berkurang dalam diriku, tapi entah bagaimana besok, yang jelas, ini bukan akhir dari kisahku, ini adalah awal perjalananku.


3. aku dan Jakarta
tak terasa sudah 3 hari aku berada di Jakarta, selama 3 hari ini juga aku tak bias memejamkan mataku, selintas bayangan ibu dan kejadian-kejadian kemarin masih berkelabat di benakku. Bukan itu saja, tampaknya aku harus mulai beradaptasi dengan lingkungan disini, terutama dengan dengkuran yang keluar dari tubuh tambun Bimby sewaktu tidur.
Pagi yang kurasa tak secerah pagi waktu di Yogya, aku mencoba keluar kamar dan berdiri di loteng untuk menghirup udara pagi, namun kulihat gumpalan awan hitam berarak diatas langit, nampaknya udara di Jakarta sudah tak ada yang bersih, semua sudah tercemar. Aku memandang kebawah, seperti 2 hari kemarin aku masih melihat pemandangan yang sama yang dilakukan warga di gang ini. Ada pak Daeng yang siap-siap menjajakan bubur ayam kelilingnya, juga ada sari, gadis asal indramayu, tetangga sebelah yang baru seminggu jadi SPG di Jakarta. Juga Bang Obin yang setiap pagi selalu memanasi mesin motornya dengan menggas motornya dengan sekuat-kuatnya.
Aku lihat Bimby masih tertidur pulas, akupun turun keruangan bawah.
“pagi re, gimana tidurnya? Nyenyak” ujar radit mengagetkan aku.
“nyenyak kok,” balasku berbohong
“loe mau berangkat kerja, Dit”
“iya gue shift pagi hari ini,” ujar Radit sumringah.
Kuamati Radit lumayan rapi dengan seragam kerjanya, Radit memang sudah hamper setahun ini bekerja sebagai consumer service di salah satu restoran siap saji di Jakarta, Raditya memang seorang tipe pekerja keras, aku jadi tak enak hati berada lebih lama disini sementara aku belum mendapatkan pekerjaan.
“Dit gue mau cari kerja hari ini?” ujarku mantap.
Kulihat Radit tercengang sambil memasang tali sepatunya.
“tapi loe kan baru 3 hari di Jakarta re, emang udah tau jalanan di Jakarta?” Tanya radit
“belum sih,” jawabku.
“rencananya mau cari kerja dimana re,”
“entahlah Dit, kerja apa aja, yang penting halal”
“oke dech, nanti kalau gue off, gue temenin lo nyari kerja oke?” ujar radit sambil mengedipkan matanya.
“oke, gue berangkat kerja sekarang, bye”
“iya hati-hati di jalan yah?” ujarku.

***

jam menunjukkan pukul 10.00 siang, tapi Bimby belum juga bangun, tubuhku terasa pegal sekali setelah tadi aku membersihkan rumah ini, mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring.
Aku duduk sambil menonton TV di ruangan bawah, tiba-tiba Bimby datang dan mengejutkan aku.
“aduh re, gue kesiangan nih, kok loe nggak banguin gue sih,” ujar Bimby terburu-buru.
“sorry Bim, gue lihat loe nyenyak banget tidurnya, gue nggak tega bangunin loe.”
“loh kok tumben rumah ini bersih, loe yang ngerjain semua?” Tanya Bimby lagi dengan heran.
Aku hanya tersenyum melihat ekspresi Bimby yang lagi kebingungan.
“loe nggak mandi Bim,”
“nggak deh, udah nggak keburu, lagian mandi pa nggak, nggak ngaruh tuh sama gaji gue,” sahut Bimby seenaknya.
Aku hanya tersenyum melihat Bimby yang linglung karena terburu-buru.
“eh re, kalo loe bosen dirumah, nggak apa-apa tuh ikut gue ke Distro, disana loe bias liat-liat kita bikin kaos, dari proses ngedesain gambar, nyetak sampai proses masuk distronya, nggak pa-pa lagi, disana rame kok” ujar Bimby.
“gak usah dech Bim, lain kali aja, biar gue dirumah aja” jawabku.
‘apa loe nggak bosen, gue ma Radit pasti malem pulang kerjanya, nggak apa-apa nih kalo ditinggalin sendirian,” ujar Bimby sedikit khawatir.
“udah gue nggak apa-apa kok” jawabku.
“ya udah kalo gitu gue berangkat dulu ya, bye?” ujar Bimby sambil berlari keluar gang.

***

malam ini aku turun kejalan, menikmati malamnya Jakarta yang dingin, aku sangat asing disini, sebuah dunia yang lain dari keseharianku. aku berjalan menyusuri trotoar, jalanan masih sangat ramai, bahkan orang-orang baru pulang bekerja, padahal hari sudah hamper jam 8 malam. Inilah aktifitas Jakarta yang tak pernah mati. Suara lalu lalang kendaraan sangat bising,